Minggu, 30 September 2012

Puisi-puisi Pilihan Lomba Baca Puisi Sumpah Pemuda


PUISI-PUISI PILIHAN
LOMBA BACA PUISI
“MERAYAKAN BAHASA MERAYAKAN CINTA”  III/2012
27-28 OKTOBER 2012



Joko Pinurbo
KEPADA CIUM

seperti anak rusa menemukan sarang air
di celah batu karang tersembunyi,

seperti gelandangan kecil menenggak
sebotol mimpi di bawah rindang matahari,

malam ini aku mau minum di bibirmu.
Seperti mulut kata mendapatkan susu sepi
yang masih hangat dan murni,

seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri
pada luka lambung yang tak terobati.

            2006




Acep Zamzam Noor
SURAT CINTA



Ini musim gugur, minumlah anggur
Denting gitar
Terdengar dari belahan dunia yang hancur

Sambutlah gerimis, kelembutan akan mengurapi
Tanah-tanahmu yang mati. Langit tinggal lengkung
Kabut bergulung-gulung

Rauplah daun-daun yang jatuh, bunga-bunga yang luruh
Bayi-bayi yang terbunuh. Melewati tahun demi tahun
Melintasi abad dan milenium yang ngungun

Hiruplah genangan darah busuk, tumpukan tubuh hangus
Kepulan asap mesiu. Pertempuran demi pertempuran
Akan mendewasakan hidupmu

Arungi luas lautan, terjuni gelap hutan
Selami lubuk bumi. Kelaparan demi kelaparan
Akan membuat hari-harimu lebih berarti

Ini musim gugur, cintaku, ini bahasa sunyi
Denting piano
Sayup-sayup dari reruntuhan waktu





Raudal Tanjung Banua
PETA BARU PELAYARAN

Laut dan teluk
yang kelewat tenang
seperti beku di mataku
Pulau-pulau jadi sehening batu
Kapal-kapal berlayar kaku
Menara dan mercu
jadi semati tugu

Maka aku nyalakan mata penaku
buat menggerakkan laut
dan pulau tanah airku
Kutulis samudera, maka gelombang
menggetarkan karang
Kutulis rempah, kopra dan kapal dagang
pulau-pulau terapung bagai kiambang
kapal-kapal berlari seligat kuda pacuan

Kawan, bila mata penamu
dan seribu mata pena lain
dinyalakan, maka laut
dan teluk akan terbakar
Abad-abad lewat
merentang jalan: berkobar
segala menara dan mercu
Atau sekadar jadi lilin
Tapi kuyakin,
tiap tetesnya jadi peta baru
di panas telapak tanganmu!






Riki Dhamparan Putra
MENAPAK TANGGA CANDI


Apakah yang kita tau
Bahkan setiba di puncak yang tertinggi aku masih
melihat diri yang sama
dengan diri yang tadi naik dengan dada sesak
Tertatih menapak tangga batu licin

Kaki yang sama masih kaku pada rukukku
Mata yang sama masih menabir pandanganku
Sedang ruh
Ruh adalah aksara yang majal
Di dalam sarang hanya berdiam menunggu ajal

Apakah yang aku tau
Bahkan di ruang yang paling hening aku
tak dapat mendengarmu

2010




Warih Wisatsana
TUKANG ES GAIB


Dering belnya riang, hari ke hari
terbangkan khayalku ke gunung salju
ke negeri es atas angin

Di depan pintu, selalu aku menunggu.
Satu teguk lagi, bisikku, jauh nian jalan
mendaki lereng terjal angan

Bila es cair di tangan, salju pun leleh
dalam lamunan. Lalu lari aku ke jalan
hingga petang di pematang, berulang
angankan terbang ke puncak gunung;

Oo, burung-burung kecil bermata lembut
tuntun kaki mungil ini menapak jejak setapak
tuntun si haus jawab ini agar tak tergelincir
bila kelak tiba di terik puncak.

.Bertahun ia kunanti, tak kunjung datang lagi
siang jadi lengang, terik kini mencekik
Oo, Nenek, susu keriputmu hangat jadi sandaran
biarkan kugenggam agar si pelamun ini
tak sesat berkali kehilangan jalan

Satu teguk angan lagi, dering belnya riang
bagai denging nyanyi kumbang
nikmat serupa jerit pipit terbang
Menuntunku mendaki sunyi diri, menapak
setapak jejak ke puncak
tempat tanya menemu jawab
tempat selubung gaib perlahan tersingkap

Oh, satu teguk lagi, jiwa murni si kecil
si riang akan berdering hening dalam diriku.





Wayan Arthawa
TANAH LELUHUR


Menggurat aksara di daun lontar
kidung mana yang harus dialirkan
mengendapkan bathin dalam semadi
anak-anak semuanya berlari
meninggalkan tanah leluhur

melebur tanah kehidupan serasa kosong
di pohon-pohon gamelan
puncak candi berendam keperihan
leluhur kita

seperangkat canang dan dupa
menggigil di keheningan jagat
tak bertuah untuk menyegarkan kandungan
kesetiaan bagi kehidupan
bagi kita
anak-anak
dan cucu-cucu

Amlapura, 1989




Tan Lioe Ie
PERAHU DAUN

Di tepi danau kita berdiri
melempar batu kanak-kanak
ke dalamnya.
Seribu purnama bercermin di air
Batu kanak-kanak berlumut sudah.
Kita masih di sini
menyaksikan angin
menjatuhkan sehelai daun
mengapung di permukaan
menjadi perahu
menjemputmu
menembus kabut
Kau pun tak tampak lagi.
Mataku bukan mata dungu ikan
yang tertipu umpan di mata kail
Tapi tak juga sanggup menyibak kabut itu
Kau tetap lenyap dari pandang
Tinggal kecipak air ditepuk angin
Angin yang lagi akan menggugurkan daun
mengapung jadi perahu
menjemput penyeberang berikutnya.




Alit S. Rini
MENCARI KASTA KI KEBO IWA


di bagian mana dari kekelaman masa silam itu
kau siapkan kasta seekor kerbau jantan
yang merelakan diri
menjadi penyangga bumi
membiarkan keangkuhan menari
atas taringnya yang terinjak
di sisi mana dari sudut hati
kau simpan lagi muslihat
untuk menipu diri dan ingkar

aku menemukan relief yang jelas alurnya
pada dinding batin sebuah keturunan
jadi kepada siapa seharusnya pedang diarahkan
jika nafsu bertarung adalah bagian
dari darah daging menusia

aku lahir
menjadi bagian dari orang-orang
yang tak kuasa menghibur diri
menari-menari dengan hati terpejam
aku gagal membayangkan jadi bidadari
terbang dengan sayap
nenek moyang
selalu kembali terpuruk pada ketelanjanganku
dengan rasa tertusuk
menerima kelahiranku dengan hati cacat
untuk datang pada masa silam dengan menyeringai
sebuah arena harus kuhadapi dengan waspada
dengan tulang-tulang selalu ngilu
membayangkan musim itu kembali
dan menyerahkan keputusan-keputusan pada hati
yang berubah jadi sekeras cadas

1993





I Made Suantha
JUKUNG: NYANYIAN LAUT DALAM DIRI

jukung di tubuhku berlayar dan berlabuh
takletih melepas muara ke batas hidupku
kerna sungai takhenti mencampur air tawar
dengan rasa laut
dan ombak setia menepiskan buih
pada pasir
hingga bintang acap kali menumpahkan rasa
dengan tiga warna luka

ke pusat darah
ke liat denyut
hingga kemana
berhambur dengan limbah
kesetiaan


dan cakrawala mengelupaskan gerhana
dari uban jaman
menyurung ladang batuku,
sloka jiwaku
sampai tanah membasuhku dengan air bunga bunga

jukung
disini penyerahanku kan berakhir dengan kemenangan
ramuku dengan liur kehidupan

dengan air keteguhan
agar gejolak di genggaman
menyimpan panas bumi

1986




Sindu Putra
HUTAN TANTRI

binatang apa aku
aku diburu

penghuni hutan ini memburuku

bambu
kayu
unggas
ikan
hewan melata berkaki empat

“jadilah salah satu di antara kami
tak berumah
tak membawa api

atau

salah satu di antara kami
memakanmu
dalam perut
ada laut

jinakkan dirimu!”

anjing ayam babi
kambing kelinci kerbau
kuda macan monyet
naga tikus ular

binatang apa aku
aku berburu





IAO Suwati Sidemen
SINTA

dalam tubuh setiap perempuan
ada bilik untuk mengabadikan
darah seorang lelaki


karena awanpun
tak berhak memilih
derajat keasaman
air hujan dalam tubuhnya

sebagai capung bersayap perak bening
dengan ekor berbuku ganjil

apakah yang lebih menyentak
selain saat menyentuh kulit air

membuat paham
mengejar bayang
adalah prosesi menuju petaka

maka jangan pertanyakan
garam peluh purusa
yang menggumpal
menyumbat lubang porimu

sebab
dalam tubuh
setiap perempuan
ada bilik
untuk mengabadikan
darah seorang lelaki





Ketut Syahruwardi Abbas
MUSIM MENARI

Mari kubantu membungkus malam
dengan tarian hening. Berdua.
Musim menari tiba
Semua dikawinkan sesamanya
Maka jangan mengelak. Mari menari.
Biar tercium harum getah ketiakmu
Dan kujamah pelan sampur rambut
dari kamar yang lengang. Sendiri.


Inilah kijang tua menari
tanpa tembang tanpa gambang
Cuma angin. Gagap. Patah-patah.
Sekali mendengus dan tersesat
dalam geliat tangan sendiri




Mas Ruscitadewi
UNTUK IBU I


Pada awal dan akhir senyumlah
Seperti warna pada kelopak bunga

Pada rupa mungkin mataku kan berpaling
seperti sangsimu pada bunga
menjadi buah


Jangan menangis
air mata hanya membias kesamaran
kesucianmu seperti akar
yang tumbuh menjadi
menjadi pohon dan bunga

Ibu,
Malam memang, kusuka
Karena memberiku mimpi dan angan
Tapi terang matamu adalah siang, adalah nyata

Dan garis yang kita lukis
Seantiasa sarat rasa
Hingga senyuman hanya bentuk krinduan pada jeda

Dan senyumlah
pada bunga mkar dari batangmu
pada bidadari yang lahir dari kasihmu






K. Landras Syaelendra
MATA DADU

...kau pun bisa tertangkap mata-mata
dadu dan menjadi mainan dalam permainan
itu . . .

kau kenal mata perempuan
laut musim panas seperti
lempengan kaca raksasa di atas pasir
dengan buih-buih terbakar sinar kuningan
matahari bagaikan ribuan bintang
bunga malam yang agung?!

Begitulah, seperti mata perempuan
Kedip pesona mata dadu itu menyihir kami
Memasuki arena
Bertarung mempertahankan nasib
Dan kami kalah

Kini tak ada lagi kamu miliki
Puncak bukit emas mahkota
Bahkan kemerdekaan diri
Segalanya harus kau serahkan
Karena janji
Harus dilunasi

Sebuah jendela terbuka
Kami pun terjaga
Dari mimpi celaka ini
Tapi tak bisa menolaknya
Kami mesti terendam
Dalam pusaran panas
Asap api belerang
Sampai fajar terakhir masa
Pembuangan ini

4 Agustus 1996




Frans Nadjira
SELAMAT JALAN I GUSTI NYOMAN LEMPAD

Untuk kali terakhir
kata menjengukmu
karena kata cuma milikku
Selamat jalan batu paras
yang ditatah dengan kapak


Di suatu desa
ada sumber air panas
menjangan-menjangan brkumpul di sana
termangu
mengapa angin pagi ini terasa liar?
ini bukan tarian biasa
ia membelit
melilit
seperti berubah perangainya

langitpun jatuh
melekat seperti kaki-kaki gurita
lukaku memeluk lengan menjangan-menjangan
yang bernyanyi perlahan

"kubuatkan ayunan lengkung cahaya
di kak langit
kami yang nampak karena lahir
matahari silam
topeng-topeng
buatkan kami nyanyian
untuk berangkat"

Karena kata cuma milikku
kujenguk kau dengan kata
selamat jalan batu paras yang ditatah dengan kapak




I Gede Dharna
KESADARAN

Setiap hari berjuta kata tersusun dalam dukana
Berlomba dengan waktu, senja mendaki bukit usia
Oi…kedip mata memangku risau
Renyai hati bergayut gundah
Terendam di mangkuk kesangsian
Kapan jemari yang lentik
Kembali memetik rindu dalam bayangan tunggal

Malam semakin akrab menyodorkan sepi
Terasa detik waktu kian mendorong
Seperti orang bersalah di bawa ke tempat hukuman
Tak dapat menolak istirah
Sementara bumi masih menawarkan kasih
Dan aku mengharap padaNya
Dapat melepas serat-serat kusut dan
Bisa menggamit rantai kesadaran untuk
Memigur hasrat kedalam warna dasar
Hingga sisa panas dapat kumanfaatkan
Membakar hutang-hutangku di warung dosa dan
Semoga saudara-saudaraku yang setia menyertai
Ketika membuka gerbang kegaiban Ibu
Dapat menyatu kembali mengantar akhir sangsiku




Emha Ainun Nadjib
JALAN SUNYI

Akhirnya kutempuh jalan yang sunyi
Mendengarkan lagu bisu sendiri di lubuk hati
Puisi yang kusembunyikan dari kata - kata
Cinta yang tak kan kutemukan bentuknya

Apabila kau dengar tangis di saat lengang
Kalau bulan senyap dan langit meremang
Sesekali temuilah detak - detik pelaminan ruh sepi hidupku
Agar terjadi saat saling mengusap peluh dendam rindu

Kuanyam dari dan malam dalam nyanyian
Kerajut waktu dengan darah berlarut - larut
Tak habis menimpukku batu demi batu kepalsuan
Demi mengongkosi penantian ke Larut





Umbu Landu Paranggi
MELODIA


Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan
Karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
Baiknya mengenal suara-suara sendiri dalam mengarungi
suara-suara di luar sana
Sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja

Karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara
Dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya
Membukakan diri, bergumul dan menyeri hari-hari tergesa berlalu
Meniup deras usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu

Takkan jemu nafas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi
Dalam kerja berlumur suka duka, hikmah pengertian melipur damai
Begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan
Selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam manja bujukan

Rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana
Di rumah kecil papa, bergelora hidup dan kehidupan dan berjiwa
Kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja, harapan dan impian
yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan





Wayan Sunarta
HANYA CAHAYA


hanya cahaya
              melulu cahaya…
meraba ubun-ubun
ketika kau tiba dari arah sungai
dengan tatapan letih
         dan dayung hampir patah

namun, sungai  itu
(bahkan semesta pun silau)
            dipahat dari cahaya
merayakan laju perahu
di alur diri tak bernama
tak berhulu, tak bermuara
hingga tandas segala cuaca

suatu masa, di tepian sungai
di pesanggrahan dewata
‘kan kunyalakan untukmu
              silsilah lindap senja
dan cahaya yang rekah
dari lubuk jiwaku

kau pun tahu
waktu adalah sekutu
bagi yang merindukan bentang jarak
hingga senja dan bianglala berpadu
dalam gelas-gelas anggurku

kita mabuk
di lubuk-lubuk terkelam
dari malam

namun, itu bukan perjamuan terakhir, kekasihku
meski di lengkung alismu langit murung
bayang-bayang hilang siang
          dan makna lekang
                                 di taman terakhir itu…


(Denpasar, 28 Februari 2012)



Made Adnyana Ole
INTERIOR DANAU
-- di Tamblingan, Buleleng


Sentuhkan pipi saljumu
            pada lembah beku dadaku
Akan kaupahami pusar Bumi. Bersiul
Mengirim panas cahaya
Atau cemas. Kepada ladang rumput
            pelaminan kita

Cuaca tak pernah terkira
Namun sejuk cintamu memberi rupa
kepada pertemuan ini
Seperti kabut yang turun dari pucuk bukit
Melarutkan wajahku ke dalam danau hatimu
-- dimana bayangan pohon-pohon karam
dan hijau ganggang masih bermimpi
            Menjadi kepompong
yang kelak menjelma kupu-kupu liar
Bermain sayap. Menyeberangkan suka cita   
dari atas air
            Hingga ke taman-taman langit

Lumurkan lumpur danau hatimu
            pada kusut wajahku
Sebab mata ikan telah lama berkabut
Ulat air terjebak. Dan arus berputar
            bagai pisau cakram
Tapi selalu saja riak di atas sana
Menjulurkan gulungan cahaya
Memburu langit masa depan
            yang telah berabad-abad tumbang

Sungguh, betapa cuaca tak pernah terkira
            di dasar danau itu
Atau di kedalaman hatimu. Angin deras
Tapi tak juga anak-anak melepas sampan
-- awal dari mana pertemuan kita berangkat

0 komentar:

Posting Komentar